Seorang kawan meminta saya untuk membuat tulisan dengan tema “menjaga hati”.
Meskipun menjaga hati cakupannya banyak, tapi bisa saya simpulkan adalah
permasalahan hati mengenai cinta.
Lagi,
berbicara mengenai cinta dan hati adalah dua hal yang saling bertautan. Tidak
bisa dipisah. Karena jika bermain dengan hati, maka akan timbul sebuah efek
yaitu cinta. Terlepas dari jenis cinta yang baik atau tidak. Maka hati memang
harus selalu dijaga.
Jika
tubuh memerlukan berbagai jenis asupan gizi guna mempertahankan kestabilan
pencernaan, maka hatipun memerlukan asupan untuk menghindarkannya dari sesuatu
yang kurang baik. Asupannya adalah zikrullah.
Hati
memang sangat rentan bila tidak dijaga. Bahkan meskipun sudah telaten
menjaganya, kadang masih suka tergelincir. Tapi bedanya, tergelincirnya hati
yang sudah ternutrisi tidak akan tergelincir sangat jauh. Pemiliknya akan
menyadari kekeliruannya dan merasakan ketidaknyamanan.
Berbicara
mengenai cinta, pasti juga berbicara mengenai hubungan lawan jenis. Tidak bisa
di tampik, jika seseorang menyukai lawan jenis. Entah dari segi fisik, inner
beauty atau dari hati. Seberapapun ia tergolong seseorang yang shalih.
Kecenderungan terhadap lawan jenis adala hal yang normal.
Kadangkala
hati bisa melesat menjauh tanpa bisa dikendalikan oleh pemiliknya. Ia bisa
menyukai lawan jenisnya, meskipun kadang ia tidak ingin menyukainya. Padahal
sebenarnya, bukan hati yang benar-benar melesat. Tapi ada sesuatu yang
menyebabkan hati itu melesat seolah tidak mampu tergenggam.
Contohnya, jika perempuan dan laki-laki memiliki intensitas
pertemuan yang tinggi. Entah karena masalah pekerjaan, organisasi, pertemanan
atau lainnya. Bisa dipastikan sedikit banyak akan menimbulkan suatu perasaan
khusus. Jika bukan dari pihak perempuan, maka bisa jadi dari pihak laki-laki.
Seperti pepatah Jawa, witing tresno jalaran soko
kulino. Cinta datang karena seringnya bertemu.
Kita
tidak bisa menyalahkan keadaan, kita juga tidak bisa menyalahkan hati jika
tiba-tiba tertambat pada seseorang. Karena itu adalah fitrah. Karena kita
adalah manusia biasa yang memang dilahirkan cenderung untuk mencintai dan
dicintai.
Jika suatu keadaan bisa sangat diminimalisir, misalnya jika kita
bisa berusaha untuk mengurangi intensitas dengan lawan jenis, itu bisa menjadi
salah satu solusi. Minimal menghindari adanya persentuhan hati.
Persentuhan
hati yang telah terlanjur melekat akan sangat sulit untuk terlepas. Jika pun
terlepas, seperti sebuah keramik yang retak dan berusaha untuk disatukan
kembali, maka tetap akan tampak bekas retakannya.
Tapi
jika terlibat pada situasi yang mengharuskan kita rutin bertemu dengan lawan
jenis dan kemudian muncul benih-benih cinta yang sebenarnya kita sendiri tidak
menginginkan hal tersebut hadir. Jangan panik, itu lumrah. Jangan berusaha
menghilangkan, kata kawan saya. Semakin kita berusaha menghilangkan maka akan
semakin sulit. Cinta itu berasal dari Allah, cinta itu karunia dari Allah. Maka
kembalikan saja cinta itu kepada Allah, jika kita merasa kita tidak pantas
memiliki rasa cinta itu (baca:bukan pada pasangan). Bukan suatu hal yang mudah,
tapi kawan saja mengajarkan untuk menikmati saja rasa itu. Biarkan waktu yang
akan menghapusnya. Dan selalu berpegang kepada Allah mengenai segala rasa
cinta. Agar cinta kita tidak tergelincir.
Berusaha
menghindari memanjakan rasa cinta yang tiba-tiba hadir kecuali kepada yang
berhak. Bagaimana pun manajemen cinta bergantung kepada masing-masing orang.
Tapi tingginya ilmu tidak menjamin cinta itu tidak bisa hadir dalam hatinya,
karena cinta itu fitrah.
InsyaAllah,
hanya dengan berpegang teguh kepada Allah, sabar atas segala kehendakNya dan
mencoba memikirkan baik buruknya cinta “terlarang”, Allah akan selalu menjaga
kita. Menjaga cinta kita untuk yang berhak. Hanya Allah, sutradara terbaik
dimuka bumi. Segala skenarionya adalah yang terindah meskipun harus mengais
makna dalam kesedihan. Setiap manusia ditakdirkan memiliki cinta. Hanya Allah
sebaik-baik pemberi cinta. Hanya Allah sebaik-baik landasan untuk mencintai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar